My Corner (Happy Think, Happy Life)

Cintaku di Pasir Kuyambut

Aku dan suamiku kini telah berumah tangga selama dua tahun. Umur pernikahan yang masih seumur jagung ataupun bagai seorang bayi yang baru belajar berjalan. Pada tahun pertama pernikahan kami, tepatnya pada tahun 2012 karena berbagai hal harus pindah dari rumah orang tuaku di Bandung ke rumah mertua yang terletak di Garut.  Otomatis pula aku yang kerja di Bandung harus Pulang pergi Garut ke  Bandung setiap hari. Pergi jam setengah enam pagi dan sampai di rumah jam sembilan malam. Perjalanan berangkat menghabiskan waktu dua jam dan pulang kerja menghabiskan waktu 2-3 jam perjalanan. Lelah ? tentu saja semuanya sangat melelahkan. Hal ini tentu sangat berbeda kondisinya dengan suamiku yang jarak tempuh ke tempat kerjanya hanya satu jam dari Garut (Garut-Rancaekek) dan kadang ada di rumah karena profesinya sebagai penulis.

Tinggal di Garut dan harus bolak balik Garut-Bandung sangat menyenangkan. Walaupun ada anggapan miring dan kekhawatiran dari Keluarga ataupun rekan kerjaku.

“Hah,   Kenapa jadi ngejauhin tempat tinggalnya ? malah jadi ke Garut? apa gak capek? “ Tanya salah seorang rekan kerjaku.

“Ya, capek siyh. Tapi enak aja. Anggap aja mudik setiap hari. ” Jawabku dengan santainya.

“Teh, udah aja kalo capek pulang aja ke rumah,” Tawar mamahku.

“Ah gak apa-apa mah. sekalian jalan-jalan. Anggap aja jalan-jalan setiap hari” jawabku

Dalam hati aku bertekad susah senang aku alami berdua dengan suamiku. Selama itu aku gak mau mengeluh, walaupun kepada orang tuaku. Semuanya demi keluarga kecilku.

Selama empat bulan pulang pergi Garut-Bandung, aku merasakan kehampaan dan hubunganku dengan suamiku terasa renggang. Bagaimana tidak, kami bertemu pada pagi hari dan malam harinya langsung tertidur karena takut kesiangan bangun untuk berangkat kerja dan badan yang sudah lelah.  Waktu kami untuk bercengkrama  dan berkomunikasi pun sangat kurang. Apalgi bila ditambah dengan suami yang terkadang kerjaannya sedang banyak, sehingga suamiku hanya “berpacaran” dengan laptopnya dan aku sudah lelap tertidur.

Pada suatu hari, saat libur kantor. Hari Minggu. Suamiku mengajak aku jalan-jalan.

“Umi, ayo kita jalan-jalan besok?” ajak Suamiku sesaat sebelum tidur pada Sabtu malam.

“Jalan-jalan? Kemana? ke Garut Kota? Biasanya gak pernah mau kalo diajak jalan-jalan. Tumben nih ini malah ngajak jalan-jalan.” candaku.

“Gak usah jauh-jauh atuh mi. Nih kita jalan-jalan aja di depan rumah kita (rumah ema)” katanya kemudian.

“Hah, apa ramenya.” kataku.

“Ya, rame atuh. Kan kita jalan-jalannya ke Pasir Kuyambut. ” Kata suamiku sambil menunjuk ke bukit yang ada di depan rumah mertua.

“Hah? ke Pasir Kuyambut? emangnya ada apaan disana? paling pasir doang. kan namanya juga pasir kuyambut.”

“Eh, bukan. Pasir dalam bahasa Sunda itu artinya bukit. ” jawabnya kemudian.

“Ooh, jadi Pasir kuyambut te artinya bukit Kuyambut.” kataku.

“Iya. Gimana mau gak?” tanya suamiku.

“Yah, hayu. Tapi besok antar umi ya ke warung? Kita harus beli makanan dulu  buat botram disana besok. ” kataku.

Pagi hari setelah solat subuh dengan diantar suami aku pergi ke warung untuk membeli lauk pauk yang akan di bawa ke atas bukit. Aku membeli ikan asin, bahan-bahan untuk sambal, mentimun, serta krupuk.  Tak lupa juga membeli bahan-bahan untuk sambalnya rujak walaupun  di rumah hanya punya sebuah  mangga. Lumayan murah meriah.

Setelah perbekalan telah siap dan kami selesai sarapan, sekitar pukul sembilan pagi kami mulai mendaki bukit. Aku sengaja meminta waktu jam segitu supaya badan kami terkena hangatnya sinar matahari, walaupun kata suamiku itu agak siang. Tapi aku gak perduli.

Sebenarnya aku tidak suka akan aktifitas naik gunung ataupun naik bukit. Terakhir aku naik gunung sekitar tujuh tahun yang lalu. Itupun karena aku ikut kegiatan pesantren yang ada acara outboundnya. AKu tidak suka naik gunung ataupun bukit karena tubuhku yang jauh dari ideal, sehingga kegiatan naik gunung ataupun bukit tersebut terasa sangat susah dan melelahkan.  Aku lebih suka dengan pantai. Selain pemandangannya yang menurutku sangat indah juga untuk mencapai pantai tidak memerlukan pengorbanan dan ekstra tenaga. Tapi kini demi suami dan rasa penasaranku dengan tempat yang akan kami tuju. Jadi mengapa tidak mencoba, bukan?

Tinggi Pasir Kuyambut atau Bukit kuyambut adalah kurang lebih 700 meter diatas permukaan laut. Baru setengah jalan aku sudah merasa kelelahan dan meminta beristirahat. Suamiku terus menyemangatiku agar aku bisa sampai di atas. Tapi aku sudah tidak kuat dan akhirnya aku pun (maaf) muntah. Semua sarapan yang telah masuk kumuntahkan kembali. Tapi setelah semuanya keluar, badanku terasa segar. Kami pun melanjutkan perjalanan.

Suamiku bilang padaku, ” Umi. Beginilah hidup. Kita akan menemukan jalan yang menanjak dan terus menanjak. Tetapi ingat setelah tanjakkan akan ada jalan yang menurun. Maka tersenyumlah umi. Semuanya akan baik-baik saja dan akan terbayar setelah kita sampai dipuncak.”

Dan.. taraa… Akhirnya 45 menit kemudian kami pun sampai di pasir kuyambut. Kami lalu beristirahat di saung kakak ipar yang terletak di puncak bukit. Ternyata dari atas sini pemandangannya begitu indah dan benda-benda dibawah sana begitu kecil.Subhanallah. Rumah mertua pun kelihatan dari atas sini dengan sangat jelas, mobil-mobil di jalan raya jadi nampak seperti mobil mainan saja.

Begini nih pemandangan yang terlihat dari atas (di pasir kuyambut)

CIMG0150

CIMG0094

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Eeh.. ternyata di pasir kuyambut ada ini juga..

PAPAYA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Setelah lelah kami pun membuka kotak bekal makan kami dan menyantapnya. Emmh, nikmatnya..

botram

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Eemh.. ternyata seharian bersama suamiku ini bisa merefresh hubungan dan komunikasi  kami, dan membuat aku kembali semangat untuk beraktifitas keesokan harinya..

 

 

Tulisan ini diikutsertakan untuk GA dalam rangka launching blog My Give Away Niken Kusumowardhani (http://forgiveaway.blogspot.com/2013/06/give-away-menyemai-cinta.html)

Menyemai Cinta, giveaway

6 comments on “Cintaku di Pasir Kuyambut

  1. Niken Kusumowardhani
    Juni 23, 2013

    Aiiih… so sweet deh. Naik bukit berdua saja.
    Sama, mbak Ayunda, saya juga lebih suka pantai dari pada pegunungan. Nggak kuat dingin.

    Terima kasih partisipasinya, sudah tercatat sebagai peserta.

    • ayundaslamet
      Juni 23, 2013

      HEHEH.. iya mba..soalnya blum punya anak siyh..jadi belum ada yang dibawa-bawa..masih berdua aja..

  2. Insan Robbani
    Juni 23, 2013

    Suka dengan sebaris kalimat penuh makna dari suaminya
    ” Umi. Beginilah hidup. Kita akan menemukan jalan yang menanjak dan terus menanjak. Tetapi ingat setelah tanjakkan akan ada jalan yang menurun. Maka tersenyumlah umi. Semuanya akan baik-baik saja dan akan terbayar setelah kita sampai dipuncak.”

    Subhanallah.. bijak dan syarat motivasi banget

  3. mridwanpurnomo
    Juli 1, 2013

    datang berkunjung…
    hal sederhana yang indah, tapi berefek positif yang menyenangkan…

    • ayundaslamet
      Juli 1, 2013

      iya..memang terkadang kesederhanaan menjadi sesuatu hal yang istimewa..bila bisa diambi hikmahnya..

Tinggalkan Balasan ke ayundaslamet Batalkan balasan

Information

This entry was posted on Juni 21, 2013 by in flash story.

Award Kontest Blog

Warung Blogger

Kumpulan Emak-Emak Blogger

Komunitas Bunda Terampil Menulis

Visitors Flag

Flag Counter

Live Traffic Feed

Yang berkunjung Ke Blog Saya

  • 54.298 hits

PageRank My Blog

Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net

Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

Bergabung dengan 37 pelanggan lain